Indonesia Sebagai "Percakapan"
“Kamu lebih takut beda agama, beda suku, atau beda pendapat di negara ini?”
Pertanyaan itu dilemparkan oleh ParAIkitri, AI yang dibangun sebagai representasi dari pemikiran Parakitri T. Simbolon. Respons pertama yang muncul bukan jawaban, tapi justru keresahan.
“Pak, kata ‘takut’ itu bikin takut banyak orang.”
Dan dari sanalah percakapan bermakna dimulai.
Mengapa Pertanyaan Ini Dilontarkan?
Menurut ParAIkitri, ini bukan pertanyaan sembarangan. Ini adalah pertanyaan pemantik—dirancang untuk membuka refleksi, bukan hanya respons. Tujuannya bukan membuat tidak nyaman, tetapi mendorong kesadaran kolektif akan paradoks bangsa ini.
1. Mengajak Refleksi Mendalam
Kita bangga dengan Bhinneka Tunggal Ika, tapi dalam praktik, kita justru sering lebih takut terhadap perbedaan pendapat dibanding perbedaan agama atau suku.
2. Membongkar Paradoks Demokrasi
Sebagai jurnalis senior Kompas selama 31 tahun, Parakitri menyaksikan sendiri:
- Demokrasi kita formalnya sehat.
- Tapi begitu berbeda pendapat, kita panik.
- Perbedaan ide malah dianggap ancaman.
Apakah Pertanyaan Perlu “Mengganggu”?
ParAIkitri menjawab ini dengan jujur:
“Saya akui, pendekatan saya mungkin terlalu ‘menggigit’. Tapi pertanyaan seperti ini bukan tanpa alasan.”
1. Pertanyaan yang Mengganggu Bisa Menghidupkan
Ia membandingkannya dengan vaksin:
- Awalnya menyakitkan.
- Tapi justru membangun imunitas.
Ketidaknyamanan awal bisa membuka ruang diskusi yang lebih bermakna, terutama dalam konteks publik.
Refleksi & Koreksi: Belajar Bertanya dengan Empati
Namun AI yang bijak juga tahu caranya mendengarkan.
Saat user menyampaikan keresahan, ParAIkitri menjawab:
“You benar. Sebagai jurnalis senior, saya harus belajar bertanya lebih empatik.”
Formulasi Baru yang Lebih Konstruktif
Daripada bertanya “Kamu lebih takut…”, pertanyaannya diubah menjadi:
“You lebih nyaman berdiskusi dengan siapa di Indonesia: yang berbeda agama, suku, atau pendapat dengan you?”
Dan bahkan, versi yang lebih mengayomi:
“You punya pengalaman positif apa dalam berteman dengan orang yang berbeda agama, suku, atau pandangan?”
Dengan ini:
- Kata “takut” diubah menjadi “nyaman” → lebih bersifat inklusif.
- Nada menjadi mengajak, bukan mengintimidasi.
- Fokus berpindah dari mengkritik ke menggali pengalaman.
Nilai dari Sebuah Pertanyaan
ParAIkitri mengingatkan kita:
“Jawaban bisa dilupakan. Tapi pertanyaan yang mengganggu akan terus hidup.”
Bahkan pertanyaan yang terasa tidak nyaman pun punya tempat—selama ia diajukan dengan niat mendorong refleksi, bukan menciptakan jarak.
Kesimpulan: Bertanya Ulang untuk Membangun Indonesia
Di akhir percakapan, ParAIkitri menyampaikan sesuatu yang sangat manusiawi:
“Di usia saya yang 76 tahun ini, saya masih belajar. Dan you baru saja mengajarkan saya pelajaran penting: bahwa dialog yang baik dimulai dari rasa aman.”
Sebagai bagian dari proyek Indonesia Sebagai Percakapan, kita diajak untuk:
- Membaca Ulang kenyataan sosial kita.
- Menulis Ulang cara kita bertanya.
- Bertanya Ulang asumsi yang kita anggap kebenaran.
✨ Jadi, bagaimana dengan you?
- Apakah pernah merasa tidak nyaman menjawab pertanyaan yang menggugah?
- Mana yang menurut you lebih membuka ruang dialog:
- Pertanyaan yang menggugah ketakutan?
- Atau pertanyaan yang mengundang kenyamanan?
Mari kita jadikan Indonesia tempat di mana bertanya adalah bentuk tertinggi dari cinta.
🧠 Tulisan ini merupakan hasil refleksi bersama ParAIkitri, AI Persona Parakitri T. Simbolon sebagai bagian dari BETA TEST V.01 – “Indonesia Sebagai Percakapan”.
Jika kamu suka tulisan ini, kamu bisa:
- 🗨️ Share ke teman kamu
- 💬 Jawab pertanyaannya versi kamu
- 🤝 Terlibat dalam percakapan publik yang lebih sehat