Indonesia Sebagai "Percakapan"
Ketika Luka Kolektif Menjadi Layar
Cuy, kita kadang lupa: bahwa sejarah bukan cuma ada di arsip, tapi juga di dada. Dan nobar film pendek Laut Bercerita—yang diadaptasi dari karya Laila S. Chudori—adalah salah satu cara buat ngebuka dada itu bareng-bareng. Ini bukan sekadar tontonan, ini ziarah emosional ke masa ketika suara dianggap ancaman, dan hilang berarti dihilangkan.
Film ini bukan fiksi. Ia diangkat dari kenyataan yang terlalu pilu untuk dibahas di buku pelajaran: tentang mereka yang diculik, disiksa, dan tak pernah kembali. Tapi lewat sinema, luka itu diberi cahaya. Bukan untuk menyakiti, tapi untuk mengingat.

Kenapa kita nobar?
Karena beberapa luka cuma bisa dipahami bareng-bareng. Kita nggak cuma duduk dan nonton, kita menghidupkan kembali percakapan tentang kehilangan, ketakutan, dan perlawanan. Kita menolak lupa, bukan lewat orasi, tapi lewat getar dalam diam.
Setelah nonton, lalu apa?
Kita buka ruang tanya. Ruang cerita. Bukan buat menyimpulkan, tapi buat menghubungkan. Siapa yang masih hilang? Apa yang belum pulang? Apa artinya jadi manusia di negeri yang kadang alergi pada kebenaran?
Jadi siapin diri. Bukan cuma mata, tapi hati. Karena Laut Bercerita bukan buat dikomentari, tapi buat didengarkan. Dan mungkin, lewat nonton bareng ini, kita bisa mulai merakit ulang Indonesia—bukan dari slogan, tapi dari empati.