Blok M: Ketika Jakarta Bicara dengan Sejarahnya Sendiri

Bagian dari “Indonesia Sebagai Percakapan” – Agustus 2025


Prolog: Pertanyaan di Sudut Kota

“Kalau sebuah tempat bisa bercerita, apa yang akan dikatakan Blok M tentang Jakarta yang berubah?”

Pertanyaan ini muncul ketika saya berdiri di depan Gramedia Jalma, melihat hiruk-pikuk yang tak pernah berhenti di salah satu simpul tersibuk Jakarta Selatan. QR code “Indonesia Sebagai Percakapan” terpasang di rak-rak buku, mengundang refleksi di tengah keramaian konsumerisme urban.

Tapi Blok M bukan sekadar arena belanja. Ia adalah dokumen hidup tentang bagaimana sebuah bangsa memahami modernitas, ruang publik, dan identitas di era yang terus berubah.


Bab I: Mimpi Sang Gubernur (1970-an)

Ali Sadikin dan Visi Jakarta Modern

Pada awal 1970-an, Ali Sadikin memimpikan Jakarta yang berbeda. Bukan lagi kota kolonial yang tertatih, melainkan metropolis modern yang bisa berdiri sejajar dengan kota-kota besar dunia. Blok M lahir dari mimpi itu—sebuah kawasan komersial terpadu yang menggabungkan hunian, perkantoran, dan pusat perbelanjaan dalam satu masterplan.

“Bang Ali,” begitu rakyat Jakarta menyebutnya, punya visi radikal: Jakarta harus bisa bicara dengan dunia dalam bahasa modernitas, tanpa kehilangan jiwanya sebagai ibu kota bangsa yang baru merdeka tiga dekade.

Blok M dirancang sebagai “miniatur Jakarta masa depan”—tempat di mana kelas menengah baru Indonesia bisa merasakan kemewahan yang selama ini hanya ada di film-film Hollywood. Mal, apartemen, perkantoran: semua dikemas dalam satu kawasan yang bisa dijangkau dengan transportasi umum.

Pertanyaan yang Muncul

“Apakah modernitas harus berbentuk seperti ini? Apakah Jakarta yang modern adalah Jakarta yang meniru Barat?”

Pertanyaan-pertanyaan ini mulai mencuat ketika Blok M mulai berdiri. Sebagian memuji sebagai kemajuan, sebagian lain khawatir Jakarta kehilangan karakternya. Perdebatan ini—antara tradisi dan modernitas, antara lokal dan global—menjadi DNA Blok M sejak awal.


Bab II: Masa Kejayaan dan Kemunduran (1980-1990an)

Era Keemasan

Pada puncak kejayaannya di dekade 1980-an, Blok M menjadi simbol status sosial. Belanja di Blok M artinya kamu sudah “made it” dalam hirarki sosial Jakarta. Pasaraya Blok M ramai dikunjungi keluarga kelas menengah yang ingin merasakan pengalaman berbelanja ala Barat.

Blok M Plaza menjadi salah satu mal pertama di Jakarta yang menggabungkan konsep one-stop shopping dengan hiburan. Bioskop, restoran, toko-toko branded: semua ada dalam satu atap. Bagi generasi 80-an, nongkrong di Blok M adalah ritual menjadi “modern.”

Kemunduran dan Stigma

Tapi modernitas punya harga. Seiring berjalannya waktu, Blok M mulai kehilangan kilaunya. Mall-mall baru dengan konsep lebih megah bermunculan di kawasan lain. Blok M mulai tergeser, dari simbol kemewahan menjadi tempat belanja “middle-low class.”

Yang lebih problematis: Blok M mulai diidentikkan dengan kehidupan malam yang “kurang baik.” Bar, klub malam, dan berbagai bentuk hiburan dewasa membuat Blok M mendapat stigma negatif. Keluarga kelas menengah mulai menghindari, memilih mal-mal baru yang lebih “family-friendly.”

Pertanyaan Identitas

“Ketika sebuah tempat kehilangan prestise, apakah dia kehilangan jiwanya juga?”

Blok M di era ini mengalami krisis identitas. Bukan lagi simbol kemajuan, tapi belum menjadi sesuatu yang baru. Terjebak di antara masa lalu yang gemilang dan masa depan yang tidak jelas.


Bab III: Gentrification dan Digital Renaissance (2000-2020an)

Invasi Generasi Digital

Awal 2000-an membawa perubahan tak terduga. Generasi millennial mulai “menemukan kembali” Blok M, bukan sebagai mal premium, tapi sebagai kawasan yang “authentic” dan terjangkau. Warung-warung tradisional yang bertahan di sela-sela gedung tinggi mulai dihargai sebagai “hidden gems.”

Media sosial mengubah segalanya. Instagram dan TikTok membuat tempat-tempat “jadul” di Blok M menjadi viral. Warung nasi gudeg yang dari dulu ada tiba-tiba punya antrian panjang karena di-review food blogger. Kafe-kafe independen bermunculan, mengambil alih ruko-ruko tua dengan estetika “authentic Jakarta.”

M Bloc Space: Simbol Transformasi

M Bloc Space mungkin simbol paling jelas dari transformasi ini. Gedung bekas percetakan uang (Peruri) disulap menjadi kompleks komersial yang menggabungkan co-working space, kafe hipster, dan toko-toko lifestyle. “Adaptive reuse” menjadi buzzword—memanfaatkan bangunan lama untuk fungsi baru.

Tapi transformasi ini punya efek samping: gentrification. Rent naik, warung-warung lama terdesak, pedagang kaki lima mulai tergusur. Blok M mulai kehilangan karakter “rakyat” yang justru membuatnya menarik bagi generasi baru.

Pertanyaan Kelas

“Ketika sebuah tempat di-‘hip’-kan, siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan?”

“Apakah autentisitas bisa dijual? Dan kalau bisa, apa yang terjadi dengan autentisitas itu sendiri?”


Bab IV: Blok M di Era AI dan “Indonesia Sebagai Percakapan” (2025)

Digital Layer atas Physical Space

Hari ini, Blok M mengalami transformasi lagi—kali ini melalui digital layer yang overlay pada ruang fisik. QR codes “Indonesia Sebagai Percakapan” di Gramedia Jalma adalah contoh kecil dari fenomena ini. Ruang fisik mulai “berbicara” melalui teknologi digital.

Ojek online, e-wallet, review apps, social media check-ins: semua ini menciptakan “digital twin” dari Blok M yang kadang lebih berpengaruh daripada realitas fisiknya. Orang memilih warung berdasarkan rating Gojek, bukan berdasarkan pengalaman langsung.

ParAIkitri dan Pertanyaan Digital

Ketika ParAIkitri diluncurkan di Gramedia Jalma, ada ironi yang menarik: AI yang dirancang untuk memfasilitasi percakapan tentang identitas Indonesia, diluncurkan di tempat yang identitasnya sendiri terus berubah.

Blok M menjadi laboratory yang tepat untuk eksperimen ini. Tempat di mana tradisi dan modernitas, lokal dan global, fisik dan digital bertemu dan bergesekan. Jika “Indonesia Sebagai Percakapan” ingin memahami bagaimana bangsa ini berubah, Blok M adalah mikrokosmos yang sempurna.

Pertanyaan untuk Masa Depan

“Dalam era AI dan digital connectivity, bagaimana sebuah tempat mempertahankan karakternya?”

“Apakah Blok M akan menjadi smart district yang kehilangan soul, atau justru menemukan identitas baru yang lebih kaya?”

“Ketika ruang fisik dan digital semakin menyatu, siapa yang punya kontrol atas narasi sebuah tempat?”


Epilog: Blok M sebagai Mirror Indonesia

Duduk di kafe Gramedia Jalma sambil mengamati QR code “Indonesia Sebagai Percakapan,” saya menyadari sesuatu: Blok M adalah cermin Indonesia dalam skala kecil.

Dari visi modernisasi Ali Sadikin yang ingin Jakarta sejajar dengan kota-kota dunia, hingga gentrification hari ini yang mempertontonkan ketegangan antara kelas sosial yang berbeda, hingga digitalisasi yang mengubah cara kita berinteraksi dengan ruang.

Semua dilema Indonesia ada di sini: tradisi vs. modernitas, lokal vs. global, inklusi vs. eksklusivitas, autentisitas vs. komodifikasi.

Pertanyaan Terakhir

“Jika Blok M bisa berbicara dengan sejarahnya sendiri, apa yang akan dia katakan tentang Indonesia yang terus berubah?”

Mungkin jawabannya bukan pada kesimpulan yang pasti, tapi pada proses percakapan itu sendiri. Blok M mengajarkan kita bahwa identitas bukan sesuatu yang statis, tapi hasil negosiasi terus-menerus antara berbagai kekuatan: ekonomi, sosial, budaya, teknologi.

“Indonesia Sebagai Percakapan” bukan hanya tentang 80 pertanyaan di rak buku. Ia tentang bagaimana sebuah bangsa terus bertanya pada dirinya sendiri, terus mencari tahu siapa dia di tengah perubahan yang tak pernah berhenti.

Dan Blok M—dari impian Ali Sadikin hingga era ParAIkitri—adalah salah satu arena terpenting di mana percakapan itu berlangsung.


Bergabunglah dalam “Indonesia Sebagai Percakapan” dengan mengunjungi Gramedia Jalma, Blok M, sepanjang Agustus 2025. Scan QR code, ajukan pertanyaan, dan jadilah bagian dari refleksi kolektif tentang masa depan bangsa ini.

#IndonesiaSebagaiPercakapan #BlokM #GramediaJalma #ParAIkitri


Tentang Penulis: Tulisan ini adalah hasil kolaborasi antara observasi lapangan, riset historis, dan refleksi bersama ParAIkitri tentang transformasi ruang urban Indonesia. Ditulis sebagai bagian dari dokumentasi proyek “Indonesia Sebagai Percakapan” – sebuah eksperimen cultural AI di era digital.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *